HKBP Yogyakarta
Suatu Renungan Khusus, 03 Januari 2021
Epifani (Teofani)
Saudara-saudari yang dikasihi oleh Yesus Kristus. Menurut Tahun Liturgi Gerejawi bahwa setelah Adven dan Natal, maka kita kemudian memasuki rangkaian Minggu Epifani (Epiphanias) yang merayakan ‘penampakan’ Yesus sebagai Anak Allah dalam kehidupan umat. Gereja-gereja Ortodoks Timur (yang banyak berada di wilayah Rusia sekitarnya, Afrika Utara, Timur Tengah, dll.,) merayakan Epifani dengan meriah sekitar tanggal 6 Januari sebagai “Hari Raya Natal” mereka, berbeda dengan Gereja Protestan dan Gereja Katolik Roma yang merayakan Natal 25 Desember.
Alkitab mengungkap bahwa Epifani (Teofani) yaitu ‘penampakan/manifestasi Allah’ (‘hapapatar ni Debata’) tidak hanya melalui penglihatan (visi) atau mimpi, tetapi juga dalam suatu penampakan pada ruang dan waktu yang teralami dengan manusia, malaikat, atau dalam wujud gejala-gejala alam. Allah yang tadinya dipahami sebagai yang tidak kelihatan dan tak terhampiri, tetapi kemudian Allah sendiri berinisiasi menampakkan dan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia serta memberi diri-Nya untuk dikasihi setelah Allah lebih dulu mengasihi manusia dan dunia. Pergeseran dan dinamika dari cara Allah yang tadinya tidak kelihatan dan tersembunyi (Deus absconditus) menjadi Allah yang kelihatan (Deus revelatus) telah di-nyata-kan melalui peristiwa Yesus.
Dalam tradisi klasik gerejawi, perayaan Epifani lazim dikaitkan dengan nas bacaan dari Alkitab, setidaknya dihubungkan dengan dua hal berikut. Pertama, kisah orang-orang Majus dari Timur yang memberi persembahan ke Yesus, Sang Putra Natal (Mat. 2:1-12). Peristiwa ini dimaknai sebagai perwujudan perjumpaan Allah dengan orang-orang asing (non-Yahudi). Alkitab mencatat bahwa orang-orang Majus ‘bersuka-cita’ dan ‘berjumpa’ dengan Yesus serta ‘menyembah-Nya’ (Mat. 2:10), dan kemudian: “ ... pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Mat. 2:12). Artinya juga bahwa siapa pun yang benar-benar mengalami ‘penampakan Tuhan’ atau ‘perjumpaan dengan Tuhan’, dia tidak akan lagi hanya menapaki jalan hidup yang sama, tetapi juga jalan hidup baru yang menjadikan kita pribadi-pribadi yang terus bertumbuh dalam kasih, kesucian, dan hikmat. Kedua, mengenai peristiwa pembaptisan Yesus di sungai Yordan. Alkitab mencatat: “… pada saat Yesus keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengar suara sorgawi: Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah AKU berkenan” (Mrk. 1:9-11; Mat. 3:16-17; Luk. 3:21-22; Yes. 42:1-3; Mat. 12:18-21). Peristiwa ini dimaknai sebagai manifestasi maklumat kepada dunia yang menegaskan Yesus adalah Anak Allah (Hamba Allah) dan bahwa TUHAN Allah berkenan pada-Nya. Langit yang terkoyak menunjuk pada komunikasi yang terbuka kembali antara manusia berdosa dengan Allah Mahakudus. Roh Kudus yang turun - dalam rupa burung merpati - ke atas Yesus tidak hanya menunjuk kepada peristiwa Pentakosta yang menghargai semua bahasa sebagai sarana pemberitaan Injil (Kis. 2), tetapi juga kepada urapan-Nya memaklumkan hukum kasih kepada bangsa-bangsa (Yes. 42:1). Baptisan Yesus kiranya mengingatkan baptisan kudus yang kita terima bahwa Allah mengadopsi (‘mangain’) kita menjadi anak-anak-Nya mewarisi harta sorga.
Saudara-saudari, ‘menghadirkan dan menampakkan karya Allah’ dalam kehidupan umat manusia menjadi tema sentral dalam rangkaian minggu-minggu Epifani (Teofani). Allah telah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada para pendahulu kita dengan perantaraan nabi-nabi, dan juga melalui Anak-Nya, Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Kini kita disapa melalui Firman-Nya sebagaimana diungkap dan diberitakan dalam Alkitab. Karena itu, marilah ‘memancarkan kemuliaan-Nya’ melalui cara hidup baru seturut kehendak-Nya. Bersama TUHAN, marilah ‘menghadirkan dan menampakkan karya Allah’ dalam kehidupan kita sehari-hari melalui sebentuk aksi belas-kasih, bela-rasa, kebaikan, kejujuran, keadilan, dan perdamaian, dan jangan lagi ‘menyembunyikannya’. Salam. *AAZS* hkbpjogja.org