Sejarah Gereja

SEJARAH SINGKAT GEREJA HKBP YOGYAKARTA

PENGANTAR

Sejarah berdirinya suatu gereja di atas bumi ini tidak terlepas dari rentetan Sejarah Kerajaan Allah yang dimulai dari Perjanjian Lama sampai pada masa kini. Oleh karena itu, harus diakui bahwa kuat kuasa Tuhan adalah faktor utama yang mondominasi sejarah dan perkembangan gereja di seluruh dunia, sehingga memperingati hari jadi suatu gereja bukanlah sekedar memperingati jasa-jasa orang yang terlibat di dalam sejarah itu, tapi lebih dari itu, merupakan ucapan syukur atas karya Tuhan yang telah membangun dan membimbing gereja-Nya.

Mengungkap Sejarah Gereja adalah suatu usaha untuk melihat bagaimana besarnya peranan Tuhan dalam membangun dan membina gereja dari dulu sampai sekarang. Dengan mengetahui sejarah gereja, anggota jemaat dimungkinkan untuk mengucap syukur atas karya Allah yang Maha besar itu

Sebelum Negara Republik Indonesia berdiri/diproklamasikan, orang Batak sudah merantau ke Pulau Jawa dengan berbagai keperluan, antara lain: melaksanakan tugas pemerintah atau perusahaan Hindia Belanda,  berdagang, dan sekolah. Dalam dekade 1920 – 1940 perantau Batak di Jawa-Tengah termasuk Yogyakarta pada umumnya bertujuan untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda yang berada di Yogyakarta dan sekitarnya. Hal tersebut didorong oleh keberhasilan gereja HKBP dalam membuka wawasan masyarakat Tapanuli dan sekitarnya sehingga masyarakat terdorong untuk berani merantau, keluar menyongsong  dan mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain.

            Meskipun perantau Batak mudah beradaptasi dan berbaur dengan lingkungan baru, memori terhadap tradisi, seperti: penggunaan bahasa ibu, tata peribadatan, adat-istiadat dan sebagainya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan.  Tata ibadah gereja HKBP termasuk salah satu unsur budaya yang ikut membesarkan kepribadian dan tertanam jauh dalam ingatan para perantau dari Tapanuli. Oleh karena itu, bila perantau Batak berkumpul di parserahan, biasanya  mereka akan berusaha untuk mengadakan kegiatan doa dan ibadah bersama dan bila sudah memungkinkan, akan mendirikan rumah ibadah

I. PERIODE PRA JEMAAT

Sebelum dekade 1940-an orang-orang Batak sudah ada yang datang ke daerah Jawa Tengah dan sekitarnya termasuk ke Yogyakarta. Mereka datang dari ke Yogyakarta sebagai pelajar dan mahasiswa didorong oleh rasa dan keinginan belajar dan menuntut ilmu. Disamping itu, keadaan revolusi yang terjadi pada saat itu di negara kita, pada waktu mana Yogyakarta menjadi ibukota pemerintahan Republik Indonesia – karena dianggap sebagai salah satu daerah yang aman – mengakibatkan hijrahnya orang-orang Batak ke Yogyakarta, baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai pelajar dan mahasiswa. Pada umumnya mereka sudah dibekali dengan ilmu kekristenan dari daerah asal. Hal ini terbukti dari keikut-sertaan mereka dalam kebaktian Minggu di Gereja Protestan Marga Mulyo, Pasar Gede (sekarang GPIB Jl.A.Yani), dan juga menggabungnya para mahasiswa Batak dalam CSV (Persatuan Mahasiswa Kristen) yang merupakan cikal bakal GMKI.

II PERIODE 1946 – 1950

a. Kebaktian Pertama

Disamping keinginan untuk bersekutu dengan saudara-saudara seiman, orang-orang Batak yang sudah berkeluarga dan yang masih berstatus pemuda juga ingin bergaul dengan sesama suku Batak, didorong oleh kerinduan akan tanah asal Tapanuli, serta ikatan kultur dalam persekutuan “Dalihan na Tolu”.

Dapat dipastikan bahwa ikatan seiman dan sekultur ini mendorong orang-orang Batak di Yogyakarta untuk mengadakan Persekutuan Kebaktian dalam bahasa Batak yang kemudian menjadi Huria Kristen Batak Protestan Yogyakarta. Tentu sekali maksud untuk mengadakan kebaktian ini sudah dibicarakan sesama mereka,

tapi peranan mass-media juga mereka manfaatkan pada saat itu untuk menghimpun orang-orang Batak dalam maksud tersebut. Hal ini dapat diketahui dari dokumen Harian Kedaoelatan Rakjat terbitan Sabtu (Pon) 6 April 1946 yang isinya memanggil orang-orang Batak yang berada di Yogyakarta agar menghadiri Kebaktian Khotbah HKBP pada hari Minggu tanggal 7 April 1946 di rumah keluarga W.Hutabarat, Jl. Pakoeningratan no.6

Kebaktian ini berlangsung dengan baik dipimpin oleh salah seorang dari antara mereka, yaitu J.A.Lumbantobing, yang dihadiri oleh 8 keluarga dan beberapa anak-anak dan para pemuda. Keluarga yang berkumpul antara lain : Kel.W.Hutabarat, M.Aritonang, O.Hutabarat, J.A.Lumbantobing dan Kel.Siregar.

b. Sakramen Pertama

Disamping kegiatan-kegiatan rutin setiap hari Minggu, HKBP Yogyakarta menerima Pelayanan Sakramen Perjamuan Kudus yang pertama kali pada tanggal 1 Mei 1946 dilayani oleh Pdt. Darmohatmodjo dari Gereja Djawa Gereformeerd.

Babtisan Kudus pertama terjadi pada hari Minggu tanggal 6 Oktober 1946 di Gereja Protestan Margo Muljo dilayani juga oleh Pdt. Darmohatmodjo.

c. Kebutuhan akan Pelayan Khusus di HKBP Yogyakarta

Dalam Sinode Distrik IX yang berlangsung di Malang tanggal 17-18 Nopember 1946, diusulkan agar HKBP menempatkan seorang pendeta untuk melayani jemaat-jemaat yang di Jawa tengah dan Timur – yang lazim disebut daerah pedalaman – karena Pdt. M.Pakpahan yang berkedudukan di Jakarta pada saat itu adalah pendeta satu-satunya yang ditugaskan untuk melayani seluruh jemaat di Jawa.

Tapi usul itu masih belum dapat dipenuhi karena kekurangan tenaga pendeta di HKBP pada saat itu. Maka untuk mengatasinya disepakati untuk mempergunakan tenaga Evangelist F.Panjaitan yang pada saat itu berdomisili di Garut untuk melayani jemaat di daerah pedalaman.

Dalam rapat yang diprakarsai oleh HKBP Yogyakarta tanggal 22 Maret 1947 disepakati untuk meminta FKN.Harahap yang baru saja kembali dari negeri Belanda menyelesaikan studi theologia, agar bersedia menjadi pendeta untuk melayani jemaat di Jawa Tengah dan Timur. Dengan persetujuan Praeses M.Pakpahan dan juga kesediaan FKN.Harahap sendiri, maka FKN. Harahap ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 4 Mei 1947 di Jakarta.

Tapi masa pelayanan Ds.FKN.Harahap hanya sampai tanggal 1 Mei 1950 karena mulai tanggal itu, FKN.Harahap menyatakan penarikan diri dari tugas pelayanannya sebagai pendeta di daerah pedalaman. Hal ini bermula dari prakarsa Ds.FKN.Harahap untuk membentuk HKBP Distrik X Sementara, yang akhirnya tidak mendapat persetujuan dari Praeses M.Pakpahan dan Pucuk Pimpinan HKBP. Namun, setelah pernyataan tersebut, FKN Harahap masih bersedia melayani beberapa jemaat di pedalaman jika tenaganya diminta.

d. Tempat Kebaktian

Seperti sudah disinggung di atas bahwa kebaktian pertama berlangsung di Jl.Pakoeningratan 6 di rumah Kel W.Hutabarat. Kemudian pernah pindah ke Gereja Protestan Margo Muljo, dan pindah lagi ke SD Ungaran-Kotabaru, kemudian ke Balai Pertemuan Kristen. Dari sini pindah lagi ke Sekolah Menengah Kristen Terban Taman 33 dan kembali lagi ke Balai Pertemuan Kristen. Sehingga dalam tahun 1946 itu HKBP sudah 5 (lima) kali berpindah tempat kebaktian.

Jemaat HKBP Yogyakarta baru mengadakan kebaktian di gereja yang kita tempati sekarang sejak 14 Agustus 1948 dengan cara menyewanya dari Gereja Gerefoormerd Semarang.

Sedang Gereja HKBP yang sekarang kita tempati adalah bekas Gereja Gerefoormerd Belanda yang didirikan tanggal 21 Mei 1923 dan diresmikan oleh Ds.D.Bakker. Setelah pendudukan Jepang tahun 1942, maka Belanda berangsur-angsur kembali ke negerinya meninggalkan Indonesia. Pengawasan gedung gereja ini disampaikan kepada Gereja Gerefoormerd Semarang dengan pesan, agar gedung gereja itu dipergunakan untuk kepentingan Kristen. Tapi sejak tanggal 4 April 1946 Gedung Gereja ini atas bantuan Jepang dipergunakan sebagai mesjid oleh umat Muslim.

Majelis GKD (sekarang GKJ) berusaha menempuh jalan untuk mengembalikan Gedung Gereja ini kepada fungsi semula dengan cara mengikutsertakan peranan Polisi tentara, Divisi Commandant, Jawatan Agama dan Markas Tertinggi tentara, tapi tidak berhasil.

Kemudian HKBP Yogyakarta melanjutkan usaha itu dengan mengajukan Permohonan kepada Paduka Tuan Menteri Agama RI, Paduka Yang Mulia Wakil Presiden dan Paduka Tuan Mr.Amir Syarifuddin Harahap, sehinga akhirnya jemaat HKBP dapat menempatinya sebagai tempat kebaktian mulai tanggal 14 Agustus 1948 seperti telah disinggung di atas

Demikianlah keadaan HKBP sampai pada tahun 1950, yang juga disertai dengan semakin bertambahnya jumlah jemaat, karena banyak tentara dari Tapanuli yang mengungsi dan para pemuda yang ingin melanjutkan studinya ke Yogyakarta

III. PERIODE 1951 – 1959

a. Pembelian Gedung Gereja

Jemaat HKBP tidak ingin terus-menerus sebagai penyewa atas gedung gereja yang sedang mereka pergunakan. Oleh karena itu, pada tanggal 12 Juli 1953, Gereja HKBP mengutus 2 orang ke Semarang untuk mengutarakan keinginan HKBP untuk membeli Gedung gereja yang sedang mereka sewa itu dari Gereja Gerefoormerd Semarang. Hal ini disetujui oleh Gereja Gerefoormrd Semarang dan meminta kesediaan HKBP untuk memberikan Rp 200.000,- sebagai harga penjualan Gedung Gereja tersebut. Maka untuk memperoleh uang sebayak itu, HKBP melakukan berbagai kegiatan pencarian dana seperti : pesta jemaat, kolekte se Distrik IX,Bazaar yang dibuka oleh Nyonya Walikota Yogyakarta. Sehingga gedung gereja itu dapat dibeli pada bulan Desember 1956 dan diserahkan kepada HKBP pada Perayaan Hari Jadi HKBP yang ke-10 tanggal 8 April 1956. Dan untuk mempermudah balik nama disepakati membuat penyelesaiannya dengan cara hibah (schenking). Berikutnya tanggal 7 Agustus 1956 Rumah Pastori di sebelah Gereja dibeli seharga Rp 120.000,-. Tapi baru sesudah melalui proses yang panjang rumah itu dapat dikosongkan oleh keluarga yang sudah menempatinya.Ressort Jawa Tengah

Merasakan pentingnya tenaga pendeta untuk melayani jemaat di pedalaman, maka pada Sinode Distrik tahun 1953 di Bandung, utusan Semarang dan Yogyakarta memperjuangkan agar gereja-gereja di Jawa tengah menjadi satu ressort dan berpusat di Semarang. Usul ini dilanjutkan lagi dengan mengadakan beberapa kali rapat oleh gereja-gereja HKBP di Jawa tengah. Keinginan ini semakin kuta dengan ditempatkannya Pdt.A.Hutahaean ditetapkan sebagai pendeta tentara di Yogyakarta. Sehingga pada suatu rapat, Pdt.A.Huatahean ditetapkan sebagai Pendeta Persiapan Ressort. Namun, akhirnya ini ditolak oleh Praeses Pdt M.Pakpahan dan Pimpinan Pendeta tentara di Jakarta.

IV. PERIODE 1960 – 1969

Kemelut yang terjadi di HKBP secara umum dalam periode ini mempengaruhi sitauai HKBP Yogyakarta yang mengakibatkan pecahnya Majelis dan jemaat HKBP Yogyakarta. Sebahagian terpaksa mengadakan kebaktian di Press Room dan sebahagian lagi tetap tinggal di Gedung Gereja. Pada tanggal 25 Desember, kemelut ini sempat dapat diatasi dengan jalan mengadakan kebaktian secara bersama-sama di Gereja. Tapi dengan berdirinya GKPI tahun 1964 maka sebahagian dari anggota HKBP masuk menjadi anggota GKPI.

Namun, ditengah-tengah kemelut yang terjadi, kegiatan-kegiatan gerejani tetap berjalan walaupun kadang-kadang terpengaruh oleh pergolakanyang terjadi.

V. PERIODE 1970 – 1979

Periode ini tidak luput dari pergolakan dan permasalahan yang diakibatkan oleh perselisihan para pendeta yang bertugas pada saat itu di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Majelis dan anggota jemaat terpecah tapi tidak menimbulkan akibat yang parah. Peranan orangtua dari anggota jemaat itu sendiri sangat banyak berpengaruh untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi.

VI. PERIODE 1980 – Sekarang

Jemaat sudah semakin dewasa dan matang oleh situasi yangtelah pernah terjadi. Tuhan berperan, pelayanan ditingkatkan, frekwensi kebaktian dan persekutuan doa dinaikkan, kegiatan per kategorial semakin diperhatikan, demikian juga pembangunan fisik digerakkan hingga sampai kini Gereja HKBP tetap berdiri.

PENUTUP

Dari Sejarah Ringkas di atas, kita dapat melihat betapa besar anugerah Tuhan untuk membimbing umatNya, menghantar jemaat HKBP Yogyakarta ke arah pendewasaan iman. Inilah yang perlu disyukuri, karena walaupun Gereja HKBP Yogyakarta banyak mengalami cobaan dalam hidup dan perjalanannya, namun Gereja ini tetap berdiri teguh.

Pada perayaan Ulang tahun ke-42 ini marilah kita memuiji nama Tuhan dan memuliakanNya, dan maju bersama dalam iman dan kebenaran menuju kehidupan yang kekal.

 

Catatan : Disarikan dari berbagai sumber termasuk dari Tim Penyusun Sejarah HKBP yang dibentuk pada tahun 1988. Disalin ulang pada tanggal 16 Maret 2023 dengan sedikit revisi, yaitu tambahan tulisan tangan dirubah ke font seperti di atas.

Revisi sejarah masih memungkinkan terjadi di kemudian hari bila ada fakta-fakta sejarah yang mendukung kelengkapan data di atas

Scroll to Top